Hari ini saya menghadiri rapat PPSMB Fakultas yang dihadiri oleh panitia dari pihak dosen dan panitia pihak mahasiswa. Setiap peserta rapat memperoleh undangan yang tertulis bahwa rapat tersebut dimulai pukul 13.00. Kebetulan sekali saya memasuki ruangan rapat ketika jam dinding di ruangan itu menunjukkan kurang lebih pukul 12.59. Saat memasuki ruangan, sebagian besar panitia dari pihak mahasiswa sudah hadir. Sedangkan hanya ada 1 orang dari pihak dosen. Kebetulan (lagi) dosen tersebut adalah dosen dari jurusan saya. Saya tidak kaget melihat Bapak Dosen tersebut sudah datang sebelum pukul 13.00. Toh, di kelas pun beliau selalu datang tepat waktu. Tepat pukul 13.00 datanglah dosen kedua. Dan lagi-lagi dosen tersebut adalah salah satu dosen dari jurusan saya. Ibu Dosen tersebut juga sangat disiplin terhadap waktu. Kedatangan beliau tepat pada waktu yang tertulis dalam undangan itu, bagi saya adalah hal yang sangat wajar untuk ukuran beliau. Ibu Dosen tersebut datang nyaris bersamaan dengan Ibu Pengundang Rapat. Saya sangat mengapresiasi ketepatan waktu beliau sebagai pihak yang mengadakan rapat.
Kira-kira pukul 13.10 dosen-dosen lain mulai berdatangan. Rapat dimulai kurang lebih 5 menit setelah itu. Ibu Pengundang Rapat membuka rapat tersebut dan diteruskan sedikit pendahuluan dari Kakak Organizing Committee (OC). Kemudian Kakak Koor Acara segera menjelaskan rundown dan tetek bengek acara. Setelah Kakak Koor Acara selesai presentasi, tibalah saatnya pihak dosen memberikan kritik maupun saran. Hati saya sedikit tertohok ketika banyak dosen yang menanyakan soal waktu pelaksanaan. Apakah kami (pihak mahasiswa) bisa menjalankan acara tepat waktu? Apakah kami sudah mengestimasi keterlambatan yang sangat mungkin terjadi? Duh, orang yang datang terlambat kok mempertanyakan ketepatan waktu. Sedangkan kedua dosen saya saja (yang notabene hari ini datang tepat waktu saat rapat) tidak berkomentar apa pun tentang waktu. Saya malu melihat kejadian itu. Inikah potret masyarakat Indonesia? Saya tahu, orang Indonesia punya kebiasaan jam karet yang luar biasa ngaret. Akan tetapi, bukankah lebih baik kita sebagai anak bangsa yang mendapat pendidikan layak memberi contoh baik dengan berusaha menepati waktu? Katanya, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya itu sebagai agen budaya di masyarakat. Kalau dosennya saja tidak bisa memberi contoh tepat waktu, bagaimana mahasiswanya bisa jadi agen budaya tepat waktu di masyarakat? Pfffft, saya malu.
Hal lain yang banyak mendapat perhatian adalah penugasan. Banyak dosen yang mempertanyakan, apakah kami sudah memperhitungkan tugas-tugas tersebut akan mudah dikerjakan oleh mahasiswa baru? Apakah mahasiswa baru dijamin tidak mengalami kesulitan yang berdampak pada hilangnya hak mengikuti PPSMB? Hmmm, saya sedikit kecewa karena banyak yang bertanya seperti itu. Tampaknya sebagian dosen masih menganggap bahwa mahasiswa yang mengikuti kepanitiaan orientasi semacam ini untuk balas dendam ke adik-adik angkatan. Stereotip sih. Saya pikir teman-teman sudah cukup dewasa untuk menyadari bahwa orientasi itu bukan ajang balas dendam. Meskipun orang yang seperti itu (ikut kepanitiaan untuk balas dendam) juga ada. Tapi bukan berarti kami juga seperti itu, kan? Menurut saya, teman-teman Acara pasti sudah mempertimbangkannya sebelum memberikan tugas. Toh, kalau mereka ada kekurangan juga wajar. Namanya juga manusia.
Jadi, mungkin ada baiknya kita belajar untuk lebih menghargai waktu. Sebelum kita mengingatkan orang lain, terlebih dahulu lihat diri sendiri apakah kita sudah pantas mengingatkan orang lain. Dan tidak menilai seseorang hanya karena stereotip tertentu. Saya juga bukan manusia sempurna. Mungkin selama ini pernah melakukan kesalahan yang tidak berkenan di hati. Untuk itu, saya mohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah saya perbuat. Terima kasih dan selamat berpuasa.
